Kota ini tidak pernah benar-benar tidur. Lampu neon menggantikan bintang, dan suara mesin menggantikan desiran angin malam. Di balik gedung-gedung pencakar langit yang berdiri gagah, tersembunyi ribuan kisah yang tak pernah sempat dituliskan. Salah satunya adalah kisah tentang Raka, seorang ilustrator jalanan yang bercita-cita menjadi pelukis terkenal.
Setiap pagi, Raka duduk di trotoar Jalan Melati, menggelar kanvas kecil dan menggambar wajah-wajah asing yang lewat. Tangannya cekatan, matanya tajam. Ia tak hanya menggambar wajah, tapi menangkap cerita. Seorang anak perempuan yang memeluk boneka lusuh, pria tua yang berjalan tertatih dengan koper plastik, atau pasangan muda yang tampak bahagia namun diam-diam saling menyimpan luka.
"Kota ini seperti kertas," gumam Raka suatu sore pada seorang pengamen bernama Jalu. "Kita menuliskan mimpi di atasnya, tapi hujan bisa menghapus semuanya."
Jalu terkekeh. "Atau malah jadi seni abstrak yang tak bisa dibaca siapa pun."
Mereka tertawa bersama, meski dalam hati keduanya tahu, tertawa adalah cara paling manusiawi untuk bertahan.
Raka tinggal di kamar sempit lantai empat belas sebuah rusun tua. Jendelanya menghadap ke barat, memberi pemandangan senja yang merah keemasan—satu-satunya momen di mana kota terasa jujur. Di dinding kamarnya, tergantung lukisan-lukisan yang belum pernah terjual. Ia menamai tiap lukisan dengan kutipan dari puisi atau percakapan yang pernah ia dengar di jalan. Satu lukisan berjudul, "Kau bilang akan kembali, tapi alamatmu tak pernah kutemukan."
Hari-hari berlalu monoton hingga suatu malam saat hujan turun deras, Raka bertemu seorang perempuan di halte. Perempuan itu basah kuyup, dengan rambut panjang menempel di wajahnya dan mata yang tampak menahan tangis. Tanpa pikir panjang, Raka menawarkannya payung dan kemudian mengajaknya ke sebuah warung kopi kecil di pojok jalan.
Namanya Maya. Ia bekerja sebagai penulis konten di sebuah startup yang sering membayar telat. Ia datang ke kota ini dengan harapan bisa menerbitkan novel, namun mimpi itu kini hanya jadi dokumen tak tersentuh di laptopnya.
Percakapan pertama mereka penuh jeda dan senyuman kikuk. Namun dalam seminggu, mereka sudah saling menanti di halte yang sama setiap malam. Maya menjadi model favorit Raka. Ia menggambar Maya dalam seribu ekspresi: tertawa, termenung, marah, bahkan saat sedang tidur di bangku taman.
Suatu malam mereka berbicara panjang. "Aku takut mimpi ini cuma fatamorgana," ujar Maya. "Kota ini terlalu besar untuk kita."
"Tapi mimpi itu tetap ada, bahkan saat kita tidak bisa menyentuhnya," jawab Raka.
Mereka mulai merancang pameran bersama. Maya membantu menulis narasi di balik tiap lukisan. Mereka mengumpulkan dana dengan menjual sketsa kecil di festival-festival jalanan. Perlahan, orang mulai mengenal nama Raka, dan cerita tentang "pelukis jalanan dan penulis senja" menjadi viral di media sosial.
Namun kehidupan bukan hanya tentang mimpi. Maya harus kembali ke kampung halamannya karena ibunya sakit keras. Ia pergi tanpa sempat berpamitan, hanya meninggalkan sepucuk surat dan sketsa terakhir dirinya yang dibuat Raka: "Perempuan yang memilih pulang sebelum patah."
Raka hancur. Ia berhenti melukis, berhenti tersenyum. Jalan Melati kini tampak kosong, seolah kehilangan warna. Jalu mencoba menghiburnya, tapi luka kehilangan terlalu dalam untuk ditambal lagu penghibur.
Berbulan-bulan kemudian, Raka menerima undangan untuk memamerkan karyanya di galeri seni bergengsi. Ia hampir menolak, namun saat melihat kembali lukisan Maya yang belum selesai, hatinya bergetar. Ia menyelesaikan lukisan itu semalam suntuk, menangis dalam diam.
Pameran itu sukses. Lukisan-lukisan Raka dipuji sebagai "puisi visual yang menyentuh jiwa kota." Namun di balik semua pujian, ia hanya mencari satu wajah di antara kerumunan: Maya. Ia tak pernah muncul.
Tahun-tahun berlalu. Raka kini dikenal sebagai salah satu seniman muda paling berpengaruh. Namun ia tetap tinggal di rusun lantai empat belas, dan tiap malam memandangi langit dari jendelanya.
Pada ulang tahun ketigapuluhnya, Raka menerima paket tanpa nama pengirim. Isinya adalah buku berjudul "Langit di Atas Kota Kertas", sebuah novel pendek karya Maya. Di halaman pertama, ada tulisan tangan: "Untuk Raka, yang telah membuat kota ini terasa seperti rumah."
Ia membaca habis buku itu malam itu juga. Setiap halaman berisi fragmen kenangan mereka: bangku halte, warung kopi kecil, sketsa-sketsa yang tak sempat dipamerkan. Maya menuliskan bagaimana ia belajar percaya lagi, meski tak bisa kembali.
Raka menangis. Bukan karena sedih, tapi karena akhirnya ia tahu: mimpi mereka tidak hilang. Mimpi itu menemukan bentuknya sendiri, dalam lukisan dan tulisan. Dua dunia yang tak bertemu tapi saling mencari.
Beberapa bulan kemudian, Raka membuat pameran tunggal berjudul "Langit di Atas Kota Kertas". Ia menampilkan semua karya yang terinspirasi dari Maya, lengkap dengan kutipan dari novel Maya yang dicetak besar di dinding galeri.
Pengunjung menangis. Banyak yang tak mengenal Maya, tapi merasa mengenalnya dari kanvas dan kata. Dan di antara kerumunan malam pembukaan itu, berdiri seorang anak perempuan kecil menggandeng tangan ibunya. Raka melihat perempuan itu dan matanya membelalak.
Maya.
Ia tak banyak berubah, hanya lebih dewasa, lebih tenang. Mereka saling menatap lama, sebelum akhirnya tersenyum.
"Aku kembali bukan karena aku tak lagi takut," bisik Maya. "Tapi karena akhirnya aku percaya."
Raka menggenggam tangannya. "Dan langit di atas kota ini… akhirnya terasa lengkap."
--- TAMAT ---