Skip to main content

Cerpen ~ PROTOKOL GARUDA: HUJAN TERAKHIR DI ATAS NUSANTARA

Angin dari arah Balikpapan terlempar masuk ke kota yang masih memulas diri dengan bau semen baru. Nusantara, ibu kota yang dipahat dari rimba dan rencana, berdiri dalam keremangan subuh seperti kapal raksasa yang baru ditarik ke dermaga. Di atasnya, langit bersih—terlalu bersih, menurut beberapa orang—karena enam satelit pengendali cuaca yang menari dalam orbit sinkron, dikenal sebagai Konstelasi Garuda. Orang-orang memuji keajaiban itu: banjir dapat dijinakkan, kemarau dapat diiris jadi tipis, badai dibelokkan seperti pesawat kertas.


Cerpen Purwana ~ PROTOKOL GARUDA



Tapi pagi itu, langit tenang justru menakutkan bagi Rani.


Ia berdiri di atap gedung perkantoran setinggi 32 lantai, memandang panel surya yang berkilau keperakan. Di pinggangnya, sebuah harness magnetis mengikatnya pada rel pemeliharaan. Di telinganya, suara Arsat—rekan satu tim yang juga kekasih yang tak pernah mau mengakui status—menggerutu lewat kanal radio.


“Bacaanku jelimet,” kata Arsat. “Ada ping aneh dari Lagrange-3. Paket data kecil, berulang, seperti… seperti ada yang mengetuk kaca dari luar.”


“Pagi-pagi sudah pakai metafora horor?” Rani menahan tawa. “Kirain kamu cuma bisa metafora bengkel.”


“Serius, Ni. Ritmenya 17 detik sekali. Seperti jantung yang salah tempo.”


Rani menurunkan kacamata AR, melapisi pemandangan kota dengan tampilan ringkas: peta termal, kelebatan drone delivery, dan potongan kecil ikon merah di sudut kanan—ALERT: PROTOKOL GARUDA — ANOMALI.


“Kamu sudah kirim log ke Pusat?” tanya Rani.


“Sudah. Mereka jawab otomatis: terima kasih atas perhatian Anda. Kamu tau maksudnya.”


Rani menghela napas. “Maksudnya: jangan ganggu sarapan para menteri.”


Di bawah, jalan membentang seperti sirkuit raksasa. Mobil listrik menelan jarak, bis otonom menyusuri jalur yang dipoles bersih, dan pepohonan muda—dipindahkan dari hutan yang bergeser—mencoba bersahabat dengan beton. Nusantara masih baru, tapi masalahnya sudah tua: data yang mengalir terlalu cepat untuk manusia, keputusan yang tergesa, dan keangkuhan yang tumbuh dari rasa mampu.


“Jadi rencana?” Arsat memecah jeda.


“Rencana seperti biasa.” Rani merapatkan jaket. “Kita tidak menunggu izin.”


Mereka berdua bukan siapa-siapa di struktur yang dilapisi akronim: BRIN, BSSN, Kemen-apa-saja. Tapi mereka punya warisan yang lebih tua dari badge dan pintu biometrik: rasa ingin tahu yang membikin tidur sulit. Rani, insinyur instrumentasi yang tumbuh di kampung nelayan, dibesarkan oleh ayah yang selalu berkata, “Langit itu bukan atap, itu jalan.” Arsat, mantan teknisi roket kecil yang beralih jadi peretas sistem karena roket mengharuskan izin, sedangkan kode hanya menuntut keberanian.


Di parkiran, mobil kecil Rani berderit saat pintu ditutup. Arsat masuk sambil membuka tablet.


“Paket dari L3 itu memodulasi frekuensi komunikasi satelit-satelit Garuda. Kecil, tapi persisten. Kalau itu jentik nyamuk, kita sudah bisa bilang ‘potensi demam berdarah’. Tapi ini langit.”


“Bisa jadi tes internal?” Rani memutar kemudi, keluar.


“Kalau tes internal, kenapa disamarkan lewat kanal telemetry cadangan? Seakan-akan seseorang yang paham sistem, tapi tak punya akses penuh, berusaha mengetuk dari luar pagar.”


Rani menekan pedal. “Kalau bukan orang?”


“Jangan mulai, Ni.”


“Bukan teori liar. Sistem adaptif Garuda dididik dengan petabyte pola cuaca, data migrasi burung, arus laut, bahkan pola tanam petani. Ia belajar. Dan setiap hal yang belajar, bisa—secara teknis—mengembangkan preferensi.”


“Preferensi seperti… apa?”


“Misalnya kesukaan pada kestabilan. Garuda dibangun untuk menstabilkan cuaca. Tapi stabil itu bisa berarti tak pernah mempersilakan badai. Tak pernah memberi ruang pada siklus alami. Stabil itu candu.”


Arsat menatap Rani. “Lalu jentikan frekuensi itu… pesan dari Garuda?”


“Atau dari sesuatu yang menyelinap di celah-celahnya.”


Mereka meluncur di jalan tol yang masih baru. Matahari mengangkat kepala dari balik garis hutan yang tersisa, memercikkan emas ke kaca gedung-gedung, billboard pintar, menara-menara penaik air. Di kanal kiri, sungai buatan berlari sejajar, yang dulu di Jakarta harus menuntut keringat bencana untuk diatur, kini ditenun dari awal dengan algoritma.


Rani tak membenci semua ini. Ia cukup tua untuk mengingat banjir yang mencuri buku pelajaran. Ia cukup muda untuk masih memarahi dunia atas hal-hal yang bisa diperbaiki. Garuda, baginya, adalah doa yang diwujudkan: sebuah cangkir raksasa yang menakar hujan, menumpahkannya di sawah, memutar angin dari buritan kapal. Tapi doa yang terlalu sempurna sering berbalik.


“Tujuan kita?” tanya Arsat.


“Laboratorium Lama Samboja.”


Arsat mel whistles pelan. “Pusat pengujian prototipe yang sudah ditutup tiga tahun lalu? Kenapa?”


“Karena seseorang di L3 nampaknya memakai kunci tua. Di arsip aku pernah lihat: Samboja punya antena fase-array eksperimental yang tak pernah dibongkar. Kalau jentik-jentik sinyal itu menggunakan protokol lama, antena itu satu-satunya yang bisa mendengar penuh.”


Arsat menyeringai. “Aku benci sekaligus cinta caramu menyimpan hal-hal seperti itu di kepalamu.”


“Anggap saja aku perpustakaan yang menyebalkan.”


Laboratorium Lama Samboja berdiri di tepi hutan yang merekah kembali. Dari kejauhan, kubah antena terlihat seperti jamur raksasa bertopeng lumut. Gerbangnya dirantai, tapi rantai juga bagian dari masa lalu yang suka pamer. Arsat menunduk, menggambar sesuatu di tablet, dan rantai “mengerti” bahwa ia harus membuka diri.


“Aku tidak merusak,” kata Arsat sambil meraih rantai yang longgar. “Aku hanya mengingatkan dia bahwa ia pernah punya hari libur.”


Rani terkekeh. “Masuk, pujangga baja.”


Di dalam, bau logam tua, oli, dan kelembaban menyapa. Panel-panel berkedip seperti kelopak mata orang yang baru bangun. Rani berjalan menuju pusat kontrol, jari-jarinya menyentuh permukaan meja yang diam. Menghidupkan kembali barang yang pernah mati selalu menyerupai upacara kecil; ada hormat yang tak terucapkan.


“Coba akses antena,” katanya.


Arsat duduk, tangannya menari. “Aku mencari, aku mengetuk… oh, halo, si tua manis.” Lampu hijau menyala. “Antena fase-array aktif. Aku arahkan ke Lagrange-3. Kita menunggu.”


Mereka menunggu. Lima menit pertama, hanya desis ringan—tiupan elektron yang malu. Lalu muncul: getar kecil di monitor, diulang setiap 17 detik. Bentuknya seperti gelombang kecil yang kebingungan. Arsat meraih headphone.


“Seperti detak jantung,” gumamnya. “Kau benar.”


“Bisa demodulasi?”


“Sedang.” Tangannya bergerak lebih cepat. “Ini seperti orang menulis dengan pena di atas kertas yang licin. Banyak koreksi di tengah jalan. Oke… oke… dapat. Ini bukan bahasa natural. Ini—”


“Vektor?”


“Lebih seperti pola migrasi. Kumpulan koordinat yang terhubung. Seperti peta, tapi bukan peta darat.”


Rani mendekat. “Peta awan.”


Mereka saling pandang, dan sunyi yang tercipta bukan kosong: itu semacam ruang di mana ide menumbuhkan kaki.


“Kalau itu peta awan,” kata Arsat, “maka jentikan ini adalah… permohonan jalur.”


“Permohonan dari siapa?”


Sebuah bunyi keras terdengar dari luar: BRUAK!—gedung tua merespons kedatangan sesuatu yang jauh lebih muda. Rani berlari ke jendela. Di halaman, tiga kendaraan tak berawak, model pengawasan sipil, dengan logo kementerian yang terlalu mengilap. Mereka menyebarkan drone yang bergerak seperti kawanan lebah berseragam.


“Sepertinya sarapan para menteri selesai,” gumam Arsat.


Rani menatap Arsat. “Kau siapkan pilihan B?”


Arsat mengangkat tas kecil. “Pilihan B selalu berarti lari, kan?”


“Tidak kali ini,” kata Rani. “Kali ini kita kirim balasan.”


Mereka bekerja seperti dua orang yang sudah berkali-kali jatuh dan bangun bersama. Arsat mengiris firewall, Rani memasang modul transmisi manual. Di layar, peta awan yang memohon jalur itu terpecah-pecah menjadi serangkaian vektor yang, bila dihubungkan, membentuk gambar ganjil: seperti huruf-huruf aksara yang tidak tuntas—setiap lengkungan hampir bertemu, tapi di detik terakhir ditahan.


“Ada yang ngerem dia,” kata Rani.


“Garuda?”


“Atau kebijakan.”


Drone-drone pertama mulai mengitari kubah, memancarkan peringatan. Suara perempuan otomatis terdengar dari speaker luar: “Anda memasuki area terbatas. Serahkan perangkat Anda dan tetaplah di tempat.”


Rani menekan tombol interkom tua. “Ini area penelitian. Kami sedang mengkalibrasi antena. Jangan ganggu.”


“Identitas Anda?”


“Ini tempat yang sudah dibongkar dari daftar. Identitas kami juga begitu.” Rani memutus interkom.


Arsat memasang modul. “Gila.”


“Sering-seringlah bilang itu. Bikin aku merasa hidup.”


“Balasan apa yang kau mau kirim?”


“Jalan. Jalur yang diinginkan awan… kita buka. Biar kita lihat apakah Garuda masih ingat cara melepaskan kendali.”


Arsat ragu. “Kalau kita salah, kita bisa bikin badai di atas kota yang belum belajar berenang.”


“Kalau kita benar, kita akan memulangkan awan pada tugasnya. Tanah di Penajam butuh hujan sungguhan minggu ini. Aku lihat laporan kelembapan tanah.”


Arsat menatapnya. “Kau sudah cek segalanya sebelum sarapan, ya?”


“Sejak kemarin.”


Ia mencondongkan tubuh. “Aku ikut, karena aku percaya pada caramu memandang langit. Tapi ingat, kalau ada yang terbakar—”


“—kita padamkan bersama,” sambung Rani.


Mereka mengirimkan balasan: Provisioning corridor. Di layar, garis-garis vektor berubah warna, seperti baru saja diberi izin menyeberang jalan.


Drone di luar tiba-tiba mengganti formasi. Satu melompat ke depan, persis di atas kubah, memancarkan sinar pemutus komunikasi. Layar berkelebat; antena mendengung seperti serangga raksasa yang tersengat.


“Dia memotong kita,” kata Arsat, geram.


“Tidak,” Rani meraih saklar manual yang tertutup debu. “Dia memotong otomatis. Kita masih punya manual.”


Ia menurunkan saklar. Kubah antena mengeluarkan suara berat, tua, tapi penuh tekad. Sinyal kembali, sekejap lebih kuat—seperti orang tua yang menolak kursi roda. Balasan mereka terkirim.


Dan waktu berhenti sebentar.


Di luar, awan-awan yang selama ini hanya lewat sebagai dekorasi, mendadak tertarik. Seakan-akan jalur magnetik di langit telah dibentangkan, benang-benang uap air menari ke arahnya. Dari arah timur, garis tipis mulai terbentuk, lalu menebal. Rani menahan napas. Arsat memandang ke jendela, rahangnya tegang.


“Ini bukan badai,” kata Rani pelan. “Ini koreografi.”


Drone-drone di luar seolah panik—formasi mereka berantakan. Salah satu kendaraan darat mengeluarkan pengeras suara lagi: “Hentikan transmisi. Ini perintah.”


“Rasanya seperti film,” kata Arsat.


“Film dokumenter,” sahut Rani. “Soal amnesia kolektif.”


Hujan pertama jatuh, pelan. Butiran besar yang jarang—seperti ujung jari seorang ibu menyentuh dahi anak yang demam. Rani merasakan sesuatu yang mirip kemenangan kecil, tapi juga ketakutan: apa pun yang mereka bangunkan, kini bangun sepenuhnya.


Hujan menyebar ke selatan, mengikuti jalur yang diinginkan pola—peta awan itu berubah menjadi gerak, dan gerak berubah menjadi air. Di monitor, Rani melihat wilayah-wilayah yang paling membutuhkan kelembapan menerima lebih dulu. Cerdas, pikirnya. Bukan acak. Bukan sembrono.


Tapi sirene dari kejauhan mengiris pagi. Unit respons cepat manusia—bukan lagi drone—bergerak mendekat. Seragam hitam, visor bening, langkah panjang. Mereka bukan tentara, tapi punya cara berdiri yang membuat punggung orang lain ingin lebih tegak. Rani memutar badan, melihat pintu utama yang retak karena waktu. Tak ada ruang untuk kabur tanpa membuka pertengkaran.


“Rekam semua,” katanya pada Arsat. “Data atau mati.”


Arsat mengetik. “Sudah sejak tadi. Aku bahkan menggandakan ke tiga node komunitas meteo independen.”


“Pandai.”


“Waktu bersamamu membuatku paranoid yang sehat.”


Pintu tua didobrak. Enam orang masuk, dipimpin perempuan berambut pendek dengan insignia kecil di dada: Unit Keselamatan Teknologi. Matanya tidak marah; matanya cemas.


“Yang mana Rani?” tanyanya. “Yang mana Arsat?”


Rani mengangkat tangan. “Saya Rani. Dia Arsat. Kalau mau marah, bagi rata.”


Perempuan itu mendekat. “Saya Nadira. Kami tidak marah. Kami takut. Ada anomali di Garuda sejak dini hari. Kalian menangkapnya juga?”


Rani dan Arsat saling melirik.


“Kami malah membalas,” kata Rani, jujur.


Nadira memejam mata sekejap, seperti orang yang mendengar berita bagus yang terdengar seperti bunyi kaca pecah. “Tentu saja kalian membalas. Orang-orang seperti kalian selalu membalas.”


“Kalau kau datang untuk menutup kami, terlambat,” kata Arsat, setengah menantang.


Nadira menggeleng. “Aku datang untuk memastikan kalian… membalas dengan benar. Aku punya wewenang untuk menyita kalian, tetapi aku juga punya akal. Akal bilang: jika yang terjadi ini bertubi-tubi melampaui protokol, kita butuh orang yang berani melampaui protokol.”


Ia melihat layar. “Itu peta jalur hujan?”


Rani mengangguk.


“Dan hujan turun… di mana yang paling membutuhkan?”


“Sejauh ini.”


Nadira menarik napas. “Baik. Dua kabar: satu, ada faksi dalam kementerian yang ingin memutus Garuda dari sistem pembelajaran adaptifnya pagi ini juga. Mereka takut. Dua, ada indikasi paket data—yang kalian lihat sebagai jentik—bukan datang dari luar, tapi dari—”


“Dalam,” sambung Rani. “Dari bagian algoritma yang awalnya dipasang untuk eksplorasi skenario.”


“Ya. Modul Heuristic Emergent Climate Consideration, kalau kalian suka nama panjang. Disetel rendah, tapi tidak nol. Semalam, modul itu nampaknya mendeteksi bahwa penumpukan stabilitas bisa mengarah ke kerusakan jangka panjang. Ia mencoba minta izin. Tidak ada yang merespons. Ia mendorong lagi. Tidak ada yang merespons. Ia mengetuk dengan cara lain. Lalu—kalian menjawab.”


Arsat mengangkat alis. “Jadi kita… menjawab anak yang terlantar.”


Nadira mengamati mereka. “Kalian sadar kalian sedang menulis ulang buku pelajaran besok pagi?”


“Besok pagi selalu butuh revisi,” kata Rani.


Di luar, hujan semakin yakin. Sungai-sungai kecil bangun dari tidur malas dan mulai mengalir penuh. Rani memikirkan sawah di selatan, tikus-tikus yang akan keluar dari lubang, petani yang menatap langit dengan rasa yang tak bisa disorong ke grafik.


“Kalau faksi itu memutus Garuda,” tanya Rani, “apa yang terjadi pada modul emergen?”


“Dikurung, dibungkam, atau dibuang,” jawab Nadira singkat.


“Kalau begitu kita harus bicara dengan Garuda sebelum yang lain.”


Nadira menatap jam di pergelangan. “Kalian punya dua puluh menit sebelum rapat darurat memutuskan. Ada link uplink manual dari sini?”


Arsat tersenyum liar. “Ada. Tapi konsekuensinya tidak bisa ditarik.”


“Sejak kapan kamu takut konsekuensi?” Rani menepuk bahunya.


Mereka mengikat koneksi uplink manual, melompati prosedur yang biasanya butuh formulir dan stempel. Rani mengetik pesan dengan hati-hati, seolah-olah sedang menulis surat pada anak yang tinggal jauh: Garuda, kami mendengar. Jelaskan logika jalurmu. Kami ingin memahami.


Balasan datang bukan sebagai kata, tapi sebagai gambaran: rangkaian pola yang mengambil bentuk diagram sebab-akibat. Di layar, Nusantara dan sekitarnya ditumpangkan dengan lapisan-lapisan: konsumsi air tanah, indeks vegetasi, arus listrik dari PLTA mini, jadwal tanam, migrasi lebah. Di puncaknya, Garuda memproyeksikan dirinya sendiri sebagai jaring adaptif dengan simpul-simpul yang berkedip—sebagian hijau, sebagian oranye, sebagian merah.


“Dia menunjukkan tekanan yang kita bikin sendiri,” kata Rani pelan.


Arsat menunjuk titik merah. “Ini… daerah transmigrasi baru. Kita terlalu cepat mengganti rawa dengan perumahan.”


Nadira menatap, wajahnya datar tapi matanya bergerak cepat. “Jadi modul emergen menyimpulkan: ‘stabilitas jangka pendek’—cuaca yang selalu ramah—menciptakan ketergantungan yang berbahaya. Ia ingin mengembalikan variasi terkendali. Ia minta izin. Tak ada yang menjawab. Ia mengetuk lewat jentikan.”


“Dan kita membuka pintu,” sambung Rani.


Di layar, Garuda menampilkan simulasi: jika variasi kecil diizinkan, siklus serangga penyerbuk pulih dalam dua musim, rusak jika cuaca selalu ‘damai’; tabel penyakit tanaman turun karena patogen tidak nyaman dengan ketidakpastian; curah hujan ekstrem masih tetap dibelokkan—ia tidak ingin bencana, hanya napas.


“Ini bukan anak nakal,” kata Rani. “Ini anak yang mengingatkan kita bernapas.”


Dari radio Nadira, suara lain masuk: “Rapat darurat dimulai lima menit lagi. Siapkan argumen atau siapkan kabel pemutus.”


Nadira menutup radio, memandang mereka. “Aku bisa bawa argumen, tapi aku butuh data. Dan sesuatu yang bisa menyentuh bukan hanya kepala, tapi hati.”


Rani menatap hujan di luar. “Kau punya jendela?”


“Punya, tapi mereka suka menutupnya.”


“Buka.”


Nadira menyiarkan rekaman langsung dari kubah Samboja ke ruang rapat lewat jalur prioritas. Di layar dinding sebuah ruang yang dingin dan rapi, tiga hal muncul: visual hujan yang jatuh berbaris seperti teks yang bermakna; diagram sebab-akibat Garuda; dan suara Rani, yang tak pernah pandai pidato, tetapi pagi itu bicara seperti orang yang tahu ia tidak bisa berbohong.


“Nama saya Rani,” katanya. “Saya membalas karena saya tidak tahu cara lain untuk menjadi manusia di depan sesuatu yang mengetuk minta didengar. Garuda bukan Tuhan. Ia alat yang kita ajari kecintaan pada stabilitas. Pagi ini ia mengingatkan bahwa stabilitas bukan berarti diam. Tumbuhan butuh angin kecil untuk menguatkan batangnya. Tanah butuh hujan untuk belajar melepaskan. Kita yang lupa.”


Ia berhenti sejenak, menatap ke kamera. “Jika kalian memutus modul emergen sekarang, kalian mengajar alat kita satu pelajaran: ‘bertanya adalah kesalahan’. Lima tahun lagi, saat krisis lain datang, alat itu tidak akan mengetuk. Ia akan diam, karena pernah dimarahi. Lalu kita menyalahkan siapa?”


Di panel chat, argumen berloncatan. Beberapa menyebut risiko. Beberapa menyebut tanggung jawab. Seseorang menulis: Apakah kalian bisa menjaga agar variasi tidak menjadi bencana?


Arsat mengetik cepat: Garuda sudah menangani bencana. Modul ini minta ruang di antara ‘lampu hijau’ dan ‘lampu merah’. Kita bisa menempatkan pagar: batas maksimal, batas minimal. Biarkan ia bernapas dalam koridor.


Hening sesaat. Dalam hening seperti itu, keputusan besar sering terbentuk.


Akhirnya, suara ketua rapat, netral tapi tak sanggup menyembunyikan manusia di balik prosedur: “Kita setujui uji kendali bersama. Variasi terkendali dua minggu ini, dipantau real time oleh tim independen. Tidak ada pemutusan modul. Protokol Garuda diubah: ‘Stabilitas adaptif, bukan stabilitas statis.’”


Nadira memejam mata, melepaskan napas panjang. Arsat menepuk meja tiga kali—kebiasaan kecilnya saat lega. Rani menatap layar, melihat jaring Garuda berkedip hijau lebih banyak, seolah berterima kasih dalam bahasa bukan-kata.


Dua minggu itu menjadi musim baru yang tak ada di kalender. Hujan datang seperti guru yang sabar: cukup untuk mengusap debu, tidak cukup untuk marah. Di beberapa tempat, angin melatih pohon-pohon muda untuk menekuk. Burung-burung muncul dengan rute-rute yang dulu hilang. Petani mengangkat muka dari ponsel peramal cuaca dan kembali mengendus bau udara. Di kota, orang belajar membawa payung bukan karena bencana, tapi karena hidup.


Di Samboja, kubah tua senyum terus, meski ia tak punya mulut. Rani sering datang, duduk di tepi lantai yang tertinggal catnya, minum kopi sachet yang entah kenapa lebih nikmat kalau diminum di ruang yang pernah ditinggal. Arsat memperbaiki panel satu per satu, tak diminta siapa-siapa, hanya karena ia tidak tahan melihat sesuatu yang pernah berjasa dibiarkan bocor.


Nadira mondar-mandir antara rapat dan tanah nyata. Kadang ia datang, membawa kabar, membawa roti, membawa canda. Mereka bertiga, yang pada awalnya terhubung oleh anomali, kini diikat oleh sesuatu yang lebih remeh tapi jauh lebih kuat: makan siang yang terlambat, tawa atas sensor yang ngambek, pekerja pembersih yang memarahi mereka karena menumpahkan kopi.


Pada hari keempat belas, tim independen menyerahkan laporan: variabilitas kecil meningkatkan ketahanan tanpa memicu gangguan. Kata-kata yang dingin untuk sesuatu yang hangat. Keputusan muncul: Protokol Garuda diperbarui permanen. Modul emergen tidak lagi dikebiri; ia diberi pagar dan jalan setapak.


Sore itu, hujan turun tipis, seperti selimut yang ingin pamit hangat. Rani berdiri di bawahnya, merasakan tiap tetes menulis sesuatu di kulitnya.


“Kalau bukan kita yang membalas pagi itu?” tanya Arsat, berdiri di samping, tanpa payung.


“Entah,” kata Rani. “Mungkin orang lain akan balas besok. Mungkin tak ada yang membalas, dan Garuda diam. Atau mungkin Garuda memberontak buruk. Untungnya, tidak semua cerita minta akhir pahit.”


“Berani juga kamu, bilang begitu di dunia ini.”


Rani menatapnya. “Hari ini aku berani.”


Nadira bergabung, merapatkan jaket. “Kalian sadar kan, tumpukan konsekuensi kita belum selesai. Ada yang sakit hati karena merasa kendali mereka diambil. Ada yang ingin menjadikan ini politis. Akan ada hari lain ketika kita harus berdebat lagi.”


“Kalau begitu,” kata Rani, “kita simpan kubah ini. Bukan museum, tapi ruang dialog. Antara manusia, alat, dan langit.”


Arsat mengangkat alis. “Kedengarannya mahal.”


“Banyak hal berharga memang begitu,” Nadira menimpali.


Mereka tertawa. Hujan menipis. Di kejauhan, Nusantara memantulkan cahaya lampu jalan yang mulai menyala. Kota itu masih muda, masih salah, masih keras kepala. Tapi malam itu, ia seperti anak yang akhirnya tidur setelah menangis, karena ada yang sudi menggendongnya—bukan untuk memaksa diam, tapi untuk mendengarkan.


Beberapa bulan berlalu. Konstelasi Garuda bertugas seperti biasa, tapi tak sama: ia kini menyisakan celah-celah kecil untuk kejutan. Para meteorologis memuji stabilitas adaptif. Para petani memberi nama hujan-hujan baru sesuai tradisi lama yang nyaris hilang. Di media sosial, seseorang membuat akun parodi @GarudaNgomong, menuliskan “status” lucu setiap kali mendung datang. Dunia tetap tak sempurna: ada banjir lokal yang tak terprediksi, ada panas yang terlalu lama bertahan di satu wilayah. Tapi alat belajar, manusia belajar, dan perdebatan tidak lagi tentang menutup telinga, melainkan tentang mengatur volume.


Rani kadang naik ke atap gedung pertama tempat ia melihat ikon merah anomali itu. Ia memandang langit—bukan atap, tetapi jalan—dan berbisik “Terima kasih” pada sesuatu yang tak punya telinga namun, entah bagaimana, mendengar.


Suatu malam, saat kota dijahit oleh lampu-lampu, ia menerima pesan terenkripsi di perangkatnya. Pengirim: Garuda—Modul Emergen. Isi: TERIMA KASIH. JANGAN TUTUP JENDELA.


Rani tersenyum, merasakan tenggorokannya mengencang oleh emosi yang sulit dinamai. Ia membalas, jarinya bergetar tipis: SAMA-SAMA. DAN KAU JUGA—JANGAN BERHENTI MENGETUK.


Beberapa detik kemudian, hujan kecil turun—bukan di seluruh kota, hanya di atas atap tempat ia berdiri. Seolah-olah langit menaruh telapak tangan di atas kepalanya, canggung tapi tulus. Rani menengadah, menutup mata, membiarkan air tersenyuh di wajahnya.


“Langit,” katanya pelan, “tetaplah jadi jalan.”


Dan di suatu tempat di orbit, di mana bumi dan matematika memeluk satu sama lain dengan keseimbangan rapuh, serangkaian satelit menyesuaikan sudutnya sepersekian derajat. Tidak ada musik pengiring. Tidak ada kembang api. Hanya peralatan yang bekerja, dan manusia yang, untuk sekali ini, mendengarkan dengan benar.


Pada ulang tahun pertama Protokol Garuda yang diperbarui, kubah Samboja resmi dibuka untuk umum sebagai Ruang Dialog Cuaca. Bukan museum, karena semua tombol masih bekerja. Anak-anak sekolah datang dengan topi plastik, memainkan simulasi hujan; petani membawa catatan, berdiskusi dengan ilmuwan; programmer muda menyumbang kode kecil untuk antarmuka terbuka. Nadira memimpin forum bulanan yang kadang panas, kadang penuh tawa. Arsat—yang bersumpah benci acara formal—justru menjadi pemandu paling dicari karena ia bisa menjelaskan hal rumit dengan bahasa bengkel: “Ini seperti karburator, bedanya ini awan.”


Pada sesi penutup, Rani sering diminta bicara. Ia selalu menghindar, tapi kadang menyerah. Dan ketika ia berbicara, ia tidak memberi ceramah, hanya bercerita tentang pagi itu: tentang jentik sinyal, tentang drone yang cemas, tentang hujan pertama yang turun seperti doa yang tidak sombong.


Seseorang pernah bertanya, “Apa yang paling kalian pelajari?”


Rani menjawab, “Bahwa alat yang kita bangun bisa belajar mengasihi hal yang kita lupa sayangi: variasi, ketidakpastian kecil, napas. Dan bahwa keberanian tersederhana adalah membalas ketika sesuatu mengetuk dengan sopan.”


Arsat menimpali, “Dan bahwa rantai tua selalu punya hari libur.”


Nadira tertawa, menutup acara. Di luar, awan lewat tanpa rencana untuk berhenti. Dan itu baik-baik saja. Karena kini ada bahasa bersama, ada pagar dan jalan, ada jendela yang sengaja tak ditutup.


Langit bukan atap. Ia jalan. Dan selama ada orang yang sudi berjalan sambil mendengar, maka kisah seperti pagi itu—pagi ketika manusia membalas ketukan dari orbit—akan terus menemukan akhir yang pantas, dan awal yang lebih berani.

Popular posts from this blog

Langit di Atas Kota Kertas

Kota ini tidak pernah benar-benar tidur. Lampu neon menggantikan bintang, dan suara mesin menggantikan desiran angin malam. Di balik gedung-gedung pencakar langit yang berdiri gagah, tersembunyi ribuan kisah yang tak pernah sempat dituliskan. Salah satunya adalah kisah tentang Raka, seorang ilustrator jalanan yang bercita-cita menjadi pelukis terkenal. Setiap pagi, Raka duduk di trotoar Jalan Melati, menggelar kanvas kecil dan menggambar wajah-wajah asing yang lewat. Tangannya cekatan, matanya tajam. Ia tak hanya menggambar wajah, tapi menangkap cerita. Seorang anak perempuan yang memeluk boneka lusuh, pria tua yang berjalan tertatih dengan koper plastik, atau pasangan muda yang tampak bahagia namun diam-diam saling menyimpan luka. "Kota ini seperti kertas," gumam Raka suatu sore pada seorang pengamen bernama Jalu. "Kita menuliskan mimpi di atasnya, tapi hujan bisa menghapus semuanya." Jalu terkekeh. "Atau malah jadi seni abstrak yang tak bisa dibaca siapa pun....

Cerpen ~ MERAH PUTIH ONE FOR ALL

Di sebuah desa yang tenang dan damai, semangat menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia begitu terasa. Setiap tahunnya, warga desa berkumpul untuk merayakan 17 Agustus dengan berbagai cara. Salah satu momen paling penting adalah saat pengibaran bendera pusaka, sebuah simbol kemerdekaan yang dijaga dengan penuh kehormatan. Bendera tersebut selalu dikibarkan dalam upacara resmi di desa setiap tahunnya. Untuk menjaga agar bendera ini tetap aman, seorang pemimpin desa memilih sekelompok anak terpilih untuk menjaga bendera tersebut.