Skip to main content

Cerpen ~ MERAH PUTIH ONE FOR ALL

Di sebuah desa yang tenang dan damai, semangat menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia begitu terasa. Setiap tahunnya, warga desa berkumpul untuk merayakan 17 Agustus dengan berbagai cara. Salah satu momen paling penting adalah saat pengibaran bendera pusaka, sebuah simbol kemerdekaan yang dijaga dengan penuh kehormatan. Bendera tersebut selalu dikibarkan dalam upacara resmi di desa setiap tahunnya. Untuk menjaga agar bendera ini tetap aman, seorang pemimpin desa memilih sekelompok anak terpilih untuk menjaga bendera tersebut.

Cerpen Purwana ~ MERAH PUTIH ONE FOR ALL


Namun, tiga hari sebelum upacara 17 Agustus, bendera merah putih pusaka yang telah diwariskan turun-temurun itu hilang secara misterius. Tentu saja, hal ini mengguncang seluruh desa. Delapan anak dari berbagai latar belakang budaya—Betawi, Papua, Medan, Tegal, Jawa Tengah, Makassar, Manado, dan Tionghoa—terpilih untuk menjalani misi heroik untuk menemukan bendera yang hilang. Mereka harus menyusuri sungai, hutan, dan menantang badai, semua demi satu tujuan mulia: mengibarkan bendera merah putih di Hari Kemerdekaan.


Perjalanan mereka penuh dengan momen menegangkan, lucu, dan emosional. Tidak hanya tantangan fisik yang mereka hadapi, tetapi juga konflik batin yang melibatkan ego, perbedaan budaya, dan cara pandang yang berbeda. Meski begitu, mereka belajar untuk saling menghargai dan mengatasi perbedaan yang ada. Melalui kerja sama yang erat, keberanian, dan semangat cinta tanah air, mereka berhasil menunjukkan bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan kekuatan yang mempererat persatuan Indonesia.


Film ini penuh dengan nilai persatuan, persahabatan, dan semangat nasionalisme, serta menggugah jiwa anak-anak Indonesia masa kini untuk lebih mencintai tanah air mereka.


Pemilihan Tim Merah Putih

Pagi itu, di desa yang tenang, suara bedug bergema mengiringi langkah anak-anak menuju lapangan. Mereka tahu bahwa setiap tahun, saat 17 Agustus tiba, mereka akan turut serta dalam upacara besar yang diadakan di desa mereka. Namun, tahun ini berbeda. Ada kabar bahwa desa memilih delapan anak terpilih yang akan mendapatkan kehormatan menjaga bendera pusaka yang dikibarkan setiap tahun.


Di sebuah ruang serbaguna di tengah desa, Kepala Desa Pak Darmawan mengumumkan siapa saja yang terpilih. Anak-anak yang ada di sana merasakan campuran rasa bangga dan gugup. Bendera merah putih adalah simbol yang sangat dihormati, dan menjadi penjaganya adalah tanggung jawab besar.


“Berdasarkan hasil musyawarah, anak-anak yang terpilih menjadi Tim Merah Putih adalah Neka, Yahya, Nabila Yasmin, Sky, Nathan, Billy, Kenneth, Rangga, Bintang, dan Vienkan,” ujar Pak Darmawan dengan suara tegas.


Di antara para anak itu, Neka merasa cemas. Dia berasal dari Betawi dan merasa dirinya tidak cukup pantas. Yahya, yang berasal dari Papua, menatap bendera dengan penuh rasa hormat, sementara Nabila Yasmin, seorang gadis Tionghoa, mulai berpikir tentang bagaimana ia bisa bekerja sama dengan teman-temannya yang berbeda latar belakang.


Namun, Bintang, seorang anak laki-laki asal Makassar, mengangkat tangannya dan berkata, “Kita bisa bekerja sama! Kita semua punya peran penting dalam menjaga bendera ini. Merah putih adalah milik kita semua.”


Bendera Hilang

Tiga hari sebelum upacara, suasana desa yang biasanya riang tiba-tiba berubah tegang. Bendera pusaka yang disimpan dengan aman di ruang desa hilang begitu saja. Semua warga desa kebingungan. Kepala Desa yang biasanya tenang kini terlihat sangat cemas.


“Bagaimana bisa ini terjadi? Siapa yang berani mencuri bendera merah putih?” seru Pak Darmawan, kesal.


Tim Merah Putih yang baru dibentuk pun segera dipanggil untuk mengambil tindakan. Masing-masing anak, meskipun memiliki latar belakang yang berbeda, merasa dipanggil untuk menjaga kehormatan desa mereka.


“Kita harus menemukan bendera itu, sebelum hari upacara tiba,” kata Sky, yang berasal dari Medan. “Ini adalah tanggung jawab kita bersama. Kita adalah Tim Merah Putih!”


Dengan semangat yang tinggi, mereka memulai perjalanan mereka untuk mencari bendera. Mereka harus melewati hutan yang lebat, menyeberangi sungai yang deras, dan menghadapi badai yang datang tanpa peringatan.


Konflik Perbedaan

Perjalanan mereka tidak mudah. Mereka semua datang dari berbagai daerah dengan kebudayaan yang berbeda. Neka, yang selalu berbicara lugas, kadang membuat teman-temannya yang lebih pendiam merasa tidak nyaman. Yahya, yang berasal dari Papua, sering kali merasa kesulitan berkomunikasi dengan Kenneth yang berasal dari Tionghoa, karena perbedaan bahasa dan kebiasaan.


“Apa yang kalian tahu tentang tanah air? Apa yang kalian tahu tentang perjuangan rakyat kami di Papua?” Yahya pernah bertanya dengan sedikit kesal.


“Kita semua sama-sama anak Indonesia,” jawab Billy, yang berasal dari Tegal, mencoba meredakan ketegangan. “Tidak ada perbedaan. Kalau kita ingin menyelamatkan bendera ini, kita harus bekerja sama.”


Namun, tidak hanya perbedaan budaya yang menjadi tantangan mereka. Dalam perjalanan mereka, mereka harus menembus hutan yang penuh dengan rintangan. Bintang, yang berasal dari Makassar, memimpin tim saat mereka melewati sungai yang deras, sementara Nabila Yasmin, dengan keberaniannya, membantu menenangkan anak-anak yang mulai putus asa.


“Mari kita lakukan ini bersama. Ini bukan hanya tentang bendera, ini tentang kita semua, tentang Indonesia,” kata Nabila Yasmin dengan penuh keyakinan.


Bersatu untuk Merah Putih

Setelah beberapa hari berjuang bersama, mereka akhirnya menemukan petunjuk tentang lokasi bendera yang hilang. Mereka harus mengatasi rintangan terakhir: sebuah badai besar yang menghadang perjalanan mereka.


Namun, dengan semangat persatuan dan tekad yang kuat, mereka berhasil mencapai tujuan mereka. Di tengah hutan, mereka menemukan sebuah gua yang dijaga oleh seorang tua. Tanpa banyak bicara, sang penjaga gua berkata, “Bendera merah putih tidak akan mudah ditemukan jika hati kalian tidak bersatu.”


Dengan penuh kebulatan tekad, mereka mengingat semua perjuangan yang telah mereka lalui. Meskipun mereka datang dari latar belakang yang berbeda, mereka semua tahu satu hal: bendera merah putih adalah milik mereka bersama.


Dengan bantuan penjaga gua, mereka akhirnya menemukan bendera merah putih yang hilang. Mereka merayakan keberhasilan mereka dengan penuh haru, menyadari bahwa persatuanlah yang membuat mereka berhasil.


Mengibarkan Merah Putih

Pada 17 Agustus, Tim Merah Putih berdiri dengan bangga di depan seluruh warga desa. Dengan tangan tegak, mereka mengibarkan bendera merah putih yang telah mereka temukan.


Suara meriah terdengar di sekitar lapangan, dan semua orang berdiri dengan khidmat. Mereka tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan bendera, tetapi juga tentang menemukan kembali semangat persatuan dan kesatuan.


“MERAH PUTIH, ONE FOR ALL!” teriak mereka bersamaan.

Hari itu, bukan hanya bendera yang dikibarkan. Semangat persatuan yang terjalin di antara mereka menjadi simbol keberanian, kerja sama, dan cinta tanah air. Merah Putih bukan hanya simbol bendera, tetapi simbol dari keberagaman Indonesia yang bersatu.


TAMAT

Popular posts from this blog

Langit di Atas Kota Kertas

Kota ini tidak pernah benar-benar tidur. Lampu neon menggantikan bintang, dan suara mesin menggantikan desiran angin malam. Di balik gedung-gedung pencakar langit yang berdiri gagah, tersembunyi ribuan kisah yang tak pernah sempat dituliskan. Salah satunya adalah kisah tentang Raka, seorang ilustrator jalanan yang bercita-cita menjadi pelukis terkenal. Setiap pagi, Raka duduk di trotoar Jalan Melati, menggelar kanvas kecil dan menggambar wajah-wajah asing yang lewat. Tangannya cekatan, matanya tajam. Ia tak hanya menggambar wajah, tapi menangkap cerita. Seorang anak perempuan yang memeluk boneka lusuh, pria tua yang berjalan tertatih dengan koper plastik, atau pasangan muda yang tampak bahagia namun diam-diam saling menyimpan luka. "Kota ini seperti kertas," gumam Raka suatu sore pada seorang pengamen bernama Jalu. "Kita menuliskan mimpi di atasnya, tapi hujan bisa menghapus semuanya." Jalu terkekeh. "Atau malah jadi seni abstrak yang tak bisa dibaca siapa pun....

Cerpen ~ PROTOKOL GARUDA: HUJAN TERAKHIR DI ATAS NUSANTARA

Angin dari arah Balikpapan terlempar masuk ke kota yang masih memulas diri dengan bau semen baru. Nusantara, ibu kota yang dipahat dari rimba dan rencana, berdiri dalam keremangan subuh seperti kapal raksasa yang baru ditarik ke dermaga. Di atasnya, langit bersih—terlalu bersih, menurut beberapa orang—karena enam satelit pengendali cuaca yang menari dalam orbit sinkron, dikenal sebagai Konstelasi Garuda. Orang-orang memuji keajaiban itu: banjir dapat dijinakkan, kemarau dapat diiris jadi tipis, badai dibelokkan seperti pesawat kertas.