Skip to main content

Cerpen ~ Jembatan Seratus Detik

Malam itu, di atap laboratorium kecil yang menyaru sebagai gudang peralatan cuaca di utara Jakarta, Saka menempelkan telinganya ke badan parabola tua seperti mendengarkan detak jantung. Angin laut membawa bau asin yang menempel di kulit, dan lampu-lampu kapal yang berderet di horizon berkedip seperti bintang yang tergelincir dari langit. Dari sisi barat, kota masih menyala, tapi tepinya bergerigi: kompleks apartemen menara, pabrik, dan tanggul-tanggul yang setengah jadi.


Cerpen Purwana ~ Jembatan Seratus Detik



Saka menghitung sampai tiga puluh—ritual kecil—lalu menekan tombol MERGE pada panel aluminium bergores. Di layar mungil, grafik naik seperti gunung. Fase gelombang radio berbenturan dengan sinyal neutrino buatan yang ia terobos dengan generator muon rakitan. Sebuah kalimat kering dari perangkat lunak internal berkedip: “Anomali Masa Lokal: -00:01:40”.


Seratus detik—tepatnya 100,000 milidetik—adalah celah yang ia menawar dari alam semesta. Tidak cukup untuk pulang ke masa lalu dan memperbaiki seluruh sejarah, tapi cukup untuk menyelipkan pesan, menggeser langkah, memindahkan satu batu yang akan mengubah aliran sungai. Ia menemukan celah itu bukan karena jenius semata, melainkan karena kebutuhan yang kejam.


Dua bulan lalu, ombak setinggi sepuluh meter memecah tanggul di Pelabuhan Marunda. Kota menyaksikan banjir rob paling brutal dalam empat dekade; ratusan keluarga tersapu, ratusan lagi tidur di atap rumah, dan angka resmi yang diumumkan selalu terlalu rapi untuk terasa nyata. Saka kehilangan seseorang—bukan keluarga, bukan kekasih, bahkan bukan teman—melainkan nama yang nyangkut di tenggorokannya setiap malam: Pak Darsa, nelayan yang suka menawarkan gorengan cumi di pos keamanan laboratorium. “Biar anget, Nak Saka,” katanya. Ia tidak pernah mengambil bayaran.


Saka membaca ulang catatan log: t=0 adalah detik ketika pesan yang ia kirim ke “masa lalu dekat” akan jatuh seperti hujan tipis ke radio murah dan ponsel penduduk di radius dua kilometer. Seratus detik sebelum celah itu, seseorang—siapa pun—bisa memilih loncatan kecil: menutup pintu, memanggul anak, berlari lebih cepat, atau menahan tetangga agar tidak menyalakan genset di ruang bawah tanah.


Malam ini uji ke-49. Dan untuk pertama kalinya, ia tidak sendiri.


“Kalau alatmu gagal, aku tetap punya artikel bagus,” kata Kirana, jurnalis lepas yang menaruh kamera di pinggir parabola, napasnya tertahan oleh jaket parasut. Ia mengulurkan termos. “Kopi? Supaya kamu tidak menulis pesan ke masa lalu dengan typo lagi.”


“Kamu pikir salah ketik yang bikin dunia hancur?” Saka menyeruput kopi, pahitnya menempel di gusi. “Kalau salah satu megatanggul itu patah lagi, kita tidak perlu mesin waktu untuk bencana.”


Kirana menatap layar ponselnya, lalu ke arah laut. “Aku sudah hubungi keluarga Darsa. Mereka mau ikut siaga, seratus detik sebelum jam dua lewat delapan belas. Katamu itu puncaknya?”


“Menurut simulasi—menurut semuanya,” sahut Saka. “Sensor piezo di jangkar tanggul memberi tanda retak. Dua menit kemudian, gelombang datang. Jika kita bisa menunda mereka naik perahu sepuluh detik lebih cepat, atau menutup pintu gudang sebelum air menyambar, mungkin—”


“Seratus detik,” sela Kirana. “Kedengarannya konyol, tapi kadang perpisahan pun butuh waktu lebih sedikit dari itu.”


Saka menoleh. “Kamu pernah—”


“Bukan saat ini.” Kirana tersenyum tipis. “Nanti setelah kita selamatkan dunia kecil kita.”


Saka mengangguk. Jarum jam digital di dinding bergerak kaku. 01:38:28.


Ia membuka kotak kecil berisi “jam penaut”—peranti kuantum sebesar biskuit yang menjaga sinkronisasi fase antara generator muon, antena radio, dan jam atom mini. Rumit bukan karena fisikanya—ia bahkan tidak akan mengaku sepenuhnya mengerti—melainkan karena birokrasi: di negara yang belajar keras dari bencana, semua yang menyentuh kata “waktu” tiba-tiba jadi urusan kementerian.


“Kamu yakin perusahaan itu tidak melacak?” tanya Kirana, mencondongkan kepala ke jendela yang memantulkan gambar mereka berdua. “Astraport, kan? Pemilik tanggul, pemilik kapal, pemilik sensor, pemilik…”


“Pemilik narasi,” potong Saka. “Mereka menyumbang sensor karena ingin datanya duluan. Kalau aku benar, malam ini data itu akan saling bertembok dengan pesan kita. Mereka tidak akan tahu dari mana kebocoran terjadi, hanya salah satu angka di lautan angka. Dan semoga, di realitas yang tepat, angka itu menggeser garis air.”


Kirana memeriksa jam. “Di kampung Darsa, semua ponsel sudah menunggu siaran radio darurat.”


Saka mengetik pada terminal:


scss

Copy

Edit

> link_time(); 

> inject("RADIO-ALERT-44KHZ", "Pak Darsa, tolong naikkan perahu sekarang. Tutup gudang. Bawa anak-anak ke atap. Tetangga di blok C, hindari genset bawah tanah. Pintu samping barat ditutup. Ini darurat. Ini dari Saka.")

Ia menahan napas. 01:38:59.


“Kenapa menyebut nama?” Kirana menatapnya. “Kalau salah dengar?”


“Nama menembus kebisingan,” jawab Saka. “Di pantai, radio berlomba dengan angin.”


Jarum melompat: 01:39:00.


Saka menekan MERGE. Ruangan mengerang pelan. Antena bergetar. Sejenak, ia merasa seperti berdiri di tepi jurang yang memantulkan suaranya sendiri.


Layar berkedip: “TRANSMISSION DELIVERED (Δt = -00:01:40)”.


Kirana menahan senyum. “Sekarang apa?”


“Sekarang kita menunggu.” Saka memandang ke laut. “Dan menghitung jumlah realitas di mana pesan itu cukup keras.”


Tak ada ledakan. Tak ada kilatan seperti film. Hanya detik-detik yang terasa tebal.


01:40:18—puncak simulasi. Di luar, tak ada sirene baru. Di dalam, komputer Saka menyapukan analisis realtime. Ia menautkan feed dari sensor tekanan air ke model prediksi. Kurva yang semula setinggi bukit akhirnya melandai beberapa milimeter. Mungkin kebetulan. Mungkin—tidak.


Kirana memperlebar layar ponsel: grup pesan warga pelabuhan meledak. “Ada suara Saka dari radio!” tulis seseorang. “Kata jangan nyalain genset bawah, beneran ga?” “Perahu diangkat! Perahu diangkat!” “Pak Darsa teriak-teriak, ayo ke atap!”


Saka merasakan dada yang tadinya kaku melunak. Ia tahu betapa kecilnya seratus detik. Tapi juga tahu betapa besar dampaknya setelah tersambung.


Lalu sesuatu yang lain masuk ke feed: notifikasi dari server Astraport. “Anomali transmisi terdeteksi. Penyelidikan diinisiasi.” Sebaris huruf acak—kode internal yang hanya berarti satu hal: mereka melihat tonjolan di statistik.


“Ketahuan?” Kirana mengangkat alis.


“Statistik tidak pernah bohong,” sahut Saka, “tapi ia bisa memilih diam.”


“Bagaimana denganmu?”


“Aku? Aku—” Saka menoleh ke jam penaut. Ia terdiam.


“Kenapa?” tanya Kirana.


“Sinkronisasi berubah,” kata Saka pelan. “Seharusnya setelah transmisi, drift waktu lokal menurun ke pola semula. Tapi ini…” Ia menunjuk grafik. Garis menukik, lalu membelah. Dua jalur.


Kirana menyipit. “Dua jalur apa?”


“Dua jalur masa kini.” Saka menelan ludah. “Di jalur pertama, kita mengirim pesan. Di jalur kedua… entahlah. Mungkin kita tidak pernah bertemu. Mungkin Pak Darsa masih menjual gorengan di pos.”


Kirana memegang bahu Saka. “Tapi kita di sini, kan?”


“Ya, di salah satu jalur,” ucap Saka. “Dan jalur lainnya akan mencoba bertemu kita.”


Kirana tersenyum geli. “Kedengarannya seperti artikel yang akan dibayar mahal.”


Saka tidak tertawa. Ia memikirkan konsekuensi yang selalu ditulis para fisikawan dalam catatan kaki: komunikasi antar-waktu memicu percabangan realitas. Tak satu pun runtuh; semuanya berjalan berdampingan, berselisih beberapa atom seumur hidup. Tapi di tempat di mana manusia tinggal, perpotongan kecil itu bisa jadi gesekan. Gesekan kadang api.


Suara ketukan pintu memecahkan pikiran.


Di layar interkom, dua petugas berseragam Astraport berdiri. Kartu identitas berkilat. Di belakang mereka, sedan hitam dengan kaca gelap. “Malam, Pak Saka,” suara dingin menyeruak. “Ada audit mendadak. Kami lihat ada transmisi yang tidak terjadwal.”


Kirana menghela napas. “Mereka datang cepat.”


Saka mengedip pada Kirana, lalu menekan tombol buka. “Masuk.”


Dua petugas melangkah masuk, aroma parfum bercampur garam laut. “Kami butuh akses penuh ke server dan perangkat transmisi, sesuai Pasal 14B kerja sama data,” kata yang lebih tinggi. Namanya, menurut kartu, Ardan.


“Silakan,” sahut Saka. Ia membuka kartu akses, membiarkan mereka masuk ke ruang server. Ia tahu ada dua jalan: melawan atau menari. Melawan akan berakhir pada penyitaan; menari membuka ruang.


Saat petugas membongkar casing server, Kirana mengalihkan kamera ke arah parabola seolah merekam dokumenter “malam di pelabuhan”. Ia memencet tombol kecil pada gelangnya—alat rekam—merekam setiap masuk dan keluar.


Ardan menatap panel MERGE. “Ini apa?”


“Pemancar radio cadangan,” ujar Saka jujur setengah. “Untuk warga sekitar.”


“Kenapa frekuensi 44 kHz?” gumam petugas kedua.


“Untuk menembus gangguan elektromagnet kuat dari generator kapal,” jawab Saka. Setengah benar. Setengah menyembunyikan bagian neutrino.


Ardan menatap jam penaut. Ia mengerutkan alis, seolah paham tanpa betul mengerti. “Anda memodifikasi sistem.”


“Darurat memerlukan improvisasi,” ucap Saka, suaranya tenang. “Sinyal tanggul menunjukan potensi retak. Warga butuh peringatan.”


“Kami punya prosedur,” kata Ardan.


“Prosedur tidak membangunkan anak-anak yang sedang tidur,” balas Kirana sebelum bisa menahan diri. “Tadi malam yang tenggelam bukan data.”


Ardan menatap Kirana, menilai. “Anda wartawan?”


“Warga,” sahut Kirana. “Yang menulis.”


Ardan seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi ponselnya bergetar. Ia melirik layar, dan untuk sepersekian detik wataknya berubah. Bukan marah, bukan curiga—kaget. “Apa?” gumamnya. Ia memelototi notifikasi, lalu memandang Saka.


“Ada apa?” tanya Saka.


“Laporan lapangan baru masuk,” kata Ardan pelan, suaranya berubah datar. “Gelombang turun dua puluh sentimeter dari prediksi. Tidak ada rumah roboh. Tidak ada ledakan genset. Peta risiko kita salah.”


Kirana menatap Saka, kemenangan kecil yang tidak mereka rencanakan.


“Prosedur Astraport juga tidak membahas mukjizat,” tambah Ardan, entah mengejek atau heran. “Atau… seseorang yang bermain dengan waktu.”


Saka menahan napas. Kata itu—waktu—meluncur seperti peluru.


Ardan menutup ponsel. “Kita tidak menemukan bukti pelanggaran. Untuk saat ini.” Ia mengembalikan casing server dengan gerak rapi seperti seorang yang menyimpan kecurigaan di laci. “Tapi saya sarankan, Pak Saka… jangan berimprovisasi terlalu jauh. Kadang yang kita selamatkan hari ini, menagih besok dengan bunga.”


Mereka pergi. Mesin angin di atap kembali mendominasi suara.


Kirana duduk di kursi putar, berputar sekali. “Kamu bikin statistik jatuh cinta.”


Saka tersenyum hambar. “Statistik mudah terpesona oleh kebetulan.”


“Kalau begitu lanjutkan kebetulannya,” kata Kirana. “Berapa banyak malam kita punya hingga tanggul utama selesai diperbaiki?”


“Dua minggu.” Saka menghela napas. “Dan setiap malam, pasang naik. Aku tidak bisa mengirim peringatan terus tanpa membuat realitas makin bersinggungan.”


“Kalau gesekannya jadi api?”


“Kalau menjadi api… kita pastikan ada air.”


Malam ke-50, Saka belajar menjadi lebih hemat kata. Ia sudah melihat bagaimana panik menyebar dalam pesan panjang. Ia kini mengirim pendek: “Hindari tangga timur. Atap barat.” Malam ke-51, pesan lebih spesifik: “Rel kereta angin lepas. Jangan dekatkan anak-anak.” Malam ke-52, “Cek pintu freezer pasar ikan. Air asin merusak karet.”


Kirana mengumpulkan testimoni. Ia duduk dengan warga, merekam wajah-wajah yang basah oleh air dan kelegaan. Artikel-artikelnya tidak menyebutkan “waktu”—ia menulis tentang manusia, kebiasaan baru dalam menghadapi air. Pelan-pelan, kampung itu berubah: orang menaruh pelampung di pintu, membiasakan sirine sederhana dari kaleng bekas, membuat grup jaga malam yang memantau langit.


“Kalau semua ini bisa dilakukan tanpa mesinmu?” tanya Kirana suatu malam saat mereka berbagi mie instan di atap.


“Bagus,” jawab Saka. “Itu artinya aku bisa berhenti.”


“Dan kamu mau berhenti?”


“Siapa yang mau jadi penjaga perbatasan realitas selamanya?” Saka mengangkat bahu. “Aku hanya ingin tidur tanpa jam menjerit.”


Di tengah percakapan, ponsel Kirana berbunyi. Nama Darsa muncul. Saka menegang.


Kirana mengangkat. “Halo, Pak.”


Suara parau dan riang terdengar. “Neng Kirana! Tolong bilang sama Saka, anak-anak sudah di atap, perahu sudah diangkat, dan gorengan cumi… masih panas! Datanglah!”


Kirana tertawa, matanya basah. “Baik, Pak. Sampaikan padanya sendiri nanti.”


Saka mendengar sambil menatap jam penaut yang berkedip. Di grafik, masih ada dua jalur masa kini. Keduanya kini lebih terang; bukannya menjauh, malah seperti ingin bersilangan di titik berikutnya. Ia meneguk kopi yang tiba-tiba jadi dingin. Entah kenapa, di puncak keberhasilan kecil, ada rasa takut yang tenang.


Malam ke-53, rasa itu masuk akal.


Sensor Astraport mengirimkan peringatan yang beda dari biasa: anomali di dasar laut. Bukan retak, bukan getaran. Semacam “bayangan massa air”, kata laporan. Bukit air yang berjalan tanpa angin. Saka menggerakkan kursi dekat layar, menelusuri data. Di jalur masa kini yang “kita”, bukit air itu bukan bahaya—ia mengarah ke timur laut, menjauhi kampung. Di jalur masa kini yang lain, bukit itu menabrak menara tanggul di koordinat yang dihuni kebun kerang.


“Kalau begitu?” tanya Kirana.


“Kita dorong agar jalur yang dekat kita menang,” kata Saka ragu. “Kita perlu pesan yang menyisir bukan manusia, melainkan mesin.”


“Mesin?”


“Turbine penyeimbang tanggul punya katup udara. Jika terbuka di detik yang pas, tekanan dasar berubah, arus berbelok.”


Kirana melipat tangan. “Kamu mau kirim pesan ke kepala operator? Itu bukan warga.”


“Dia juga manusia,” kata Saka. “Dan di jalur lain, dia akan mengingat kita sebagai pengirim pesan anonim.”


Kirana menaru ponselnya. “Kirim.”


Saka mengetik cepat:


“Operator T-17: Buka katup udara 2 selama 4 detik pada 01:30:52. Tutup segera. Jangan tanya.”


Saat ia hendak menekan MERGE, jam penaut berdengung pelan. Bukan bunyi yang biasa. Seperti seruling sumbang. Saka berhenti, menatap grafik. Jalur kedua—yang mereka selalu ketahui dari sudut mata—tiba-tiba menanjak, menggeser jalur mereka.


“Kirana,” bisiknya, “itulah menjadi api.”


Lampu temaram berubah pita. Dinding terasa lebih tipis. Suara kapal di kejauhan terdengar dua kali, satu bayangan dari sedikit masa lain. Kirana menggenggam lengan kursi. “Apa yang terjadi?”


“Percabangan terlalu rapat,” kata Saka. “Kita mengirim terlalu banyak, terlalu terarah. Realitas lain mengumpulkan hutangnya.”


“Kalau kita tidak kirim, bukit air itu—”


“—akan menabrak di jalur lain.” Saka menatap jendela. Untuk sesaat, ia melihat dua laut saling tumpang tindih: satu tenang, satu berkilat tajam.


“Pilih,” kata Kirana.


Saka menarik napas dan menekan MERGE.


Udara menyempit seperti karet yang ditarik. Parabola bergetar. Sinyal meluncur lewat jaringan yang tak dimengerti: radiasi, kebisingan, dan sesuatu yang lebih halus dari keduanya. Layar menulis DELIVERED. Bukit air di grafik berbelok, lambat tapi taat.


Di kejauhan, sirine pelabuhan meraung, tapi bukan sirine panik: sirine uji katup. Arus bergeser, menabrak pijakan tanggul, dan buyar menjadi busa. Pada saat sama—mungkin di tempat yang sama tapi bukan milik mereka—busur air menubruk kebun kerang, menghancurkan rumah rakit. Saka memejam mata. Ia tidak pernah menyaksikan dunia lain, tapi imajinasinya cukup tajam untuk tahu rasa suara papan yang patah.


Kirana menatapnya. “Kamu menyelamatkan mereka.”


“Dan membiarkan yang lain runtuh,” ucap Saka lirih.


“Yang lain itu… bukan kita.”


“Apakah itu cukup alasan?” Saka bertanya pada dirinya sendiri, bukan padanya.


Kirana menutup laptop. “Besok, kita ajari operator itu prosedur baru tanpa mesin. Dan kita bantu kebun kerang di sini menyiapkan jaring pengalih arus. Dunia yang bisa kamu sentuh cuma yang ini.”


Saka menatap jam penaut. Dua jalur perlahan kembali menjauh. Gesekan mereda. Api padam.


Begitulah ritme malam-malam berikutnya: kirim pesan pendek, lihat perubahan, ajari manusia melakukan hal yang sama tanpa pesan. Saka mulai membiarkan jarak. Malam ke-57, ia tidak mengirim apa-apa. Ia dan Kirana justru pergi ke kampung, makan gorengan cumi bersama Darsa di teras rumah yang dindingnya kini tertutup barang-barang mengapung. Mereka tertawa ketika Darsa bercerita tentang burung camar yang mencuri ikan, tentang cucunya yang menamai semua pelampung dengan nama superhero.


“Mas Saka, kalau laut bosan sama kita, apa kita harus pindah?” tanya Darsa tiba-tiba.


Saka mengunyah pelan. “Laut bukan bosan, Pak. Laut bergerak.”


“Jadi kita ikut bergerak?”


“Kita belajar menari,” sela Kirana, mengangkat cumi dengan sumpit. “Setiap langkah baru, kita tandai. Kalau lupa, ada kaleng-kaleng ini yang bernyanyi.”


Darsa terkikik. “Kalian berdua ngomongnya seperti—”


“Tukang cerita?” Kirana tertawa. “Iya. Dan kami perlu banyak cerita bagus agar orang-orang datang membawa jala baru.”


Saka ingin mengatakan lebih banyak, tapi ponselnya bergetar halus. Astraport: undangan rapat. Topik: Integritas Data Sensor, Spekulasi Intervensi Non-Prosedural.


“Harus dihadiri?” tanya Kirana.


“Kalau tidak, mereka akan datang sendiri,” jawab Saka.


Rapat itu berlangsung di ruang pendingin yang terlalu dingin untuk kota tropis. Di seberang meja, ada Ardan dan dua orang baru: seorang perempuan paruh baya dengan kemeja putih rapi, sebut namanya Maya, dan pria berkacamata tipis yang memperkenalkan diri sebagai Ahli Etika Data—gelar yang terasa seperti paradoks.


“Pak Saka,” buka Maya, “kami mendapati pola. Di malam-malam tertentu, statistik kami menyimpang dari model. Penyimpangan itu tidak buruk—kami mendapati lebih sedikit kerusakan—tetapi… menyiratkan intervensi. Apakah Anda intervensi itu?”


Saka menatap meja. Ia ingat pesan Kirana kemarin: katakan yang membuat manusia bergerak, bukan yang membuat mesin berhenti. Ia memutuskan jujur, tapi miring.


“Saya mengirim siaran warga,” ujarnya. “Informasi kecil. Hal-hal praktis.”


“Dengan perangkat apa?”


“Radio cadangan.”


“Frekuensi tidak lazim,” potong Ardan, membolak-balik berkas. “Dan sinkronisasi waktu Anda… luar biasa persis.”


“Ketika orang berbaris di samping air,” jawab Saka, “satu detik bisa menjadi jembatan panjang.”


Ahli Etika Data bersandar. “Saya tidak menuduh, saya bertanya: kalau informasi datang terlalu cepat, apakah masyarakat siap? Dan kalau kita mengandalkan kebetulan informan seperti Anda, apakah kota tidak membangun prosedur yang malas?”


Kirana yang duduk di sudut ruangan, sebagai “observan”, mengangkat tangan. “Bolehkah saya jawab?”


Maya mengangguk.


“Bapak bicara seolah hidup itu spreadsheet,” kata Kirana. “Pak Saka cuma mempercepat hal yang seharusnya sudah dilakukan: menutup pintu, memindahkan anak ke atap. Tugas Anda bukan menahan berita agar statistik tetap adil, tetapi membangun sistem yang tidak mati ketika manusia membaca pesan. Kalau mau menuduh, tuduh kelambatan prosedur. Kalau mau membantu, gandakan jam tangan—bukan jam dinding.”


Keheningan memanjang. Maya menatap Ardan, lalu Saka. “Baik.” Ia menutup berkas. “Mulai minggu depan, kami jadwalkan siaran resmi—bukan dari Anda, dari posko—dengan isi yang mirip ‘informasi kecil’ yang Anda sebut. Kami akan menilai efeknya. Dan Anda, Pak Saka…”


“Ya?”


“…beristirahatlah. Setidaknya tiga malam. Kalau statistik kami membaik, Anda kembali sebagai konsultan. Jika memburuk, Anda kembali sebagai… apa pun Anda.”


“Hantu,” seloroh Kirana pelan. Saka menahan senyum.


Malam saat Saka tidak menekan MERGE, ia duduk di atap, memandangi langit yang jarang kelihatan bintang. Ia kangen bunyi dengung jam penaut, tapi ia menahan diri. Di bawah, kampung bergerak seperti orkestra yang sudah punya konduktor baru: sirine kaleng berbunyi bersahut-sahutan, pesan posko berdengung, anak-anak menutup pintu-pintu yang diikat tali, perahu dinaikkan tanpa perlu teriakan.


Saka menyiapkan catatan untuk rapat esok: usulan memasang katup udara manual, pelatihan singkat untuk warga memantau bunyi di malam hari, dan—terpenting—caranya berhenti mengandalkan mesin yang makan realitas.


“Kalau kamu berhenti, apa jadinya jam penaut itu?” tanya Kirana, menyender di sampingnya.


“Dia tetap bisa menyadarkan kita betapa tidak istimewanya kita,” ucap Saka. “Kita cuma beruntung mengetahui seratus detik bisa selebar jembatan.”


“Kamu menolak jadi pahlawan?”


“Saya takut jadi candu.”


Kirana mengangguk. “Aku menulis sesuatu,” katanya, menyerahkan ponsel pada Saka. Judulnya: “Seratus Detik: Catatan Pinggir Tentang Kota yang Belajar Menari”. Ia tidak menulis tentang mesin, neutrino, atau jalur realitas. Ia menulis tentang bagaimana seorang nelayan menaruh pelampung di pintu seperti menyimpan doa. Tentang bagaimana seorang operator yang dulunya hanya klik dokumen, kini hafal bunyi katup seperti suara bayinya. Tentang tanggul yang bukan hanya beton, melainkan kebiasaan.


Saka membaca sampai akhir. Di kalimat terakhir, Kirana menulis: “Jika waktu suatu hari meminta ganti, kita akan membayarnya dengan keberanian yang telah dilatih, bukan kepanikan yang diimpor.”


“Bagus,” kata Saka. “Tapi apa tidak terlalu puitis?”


“Puitis menyatukan orang,” balas Kirana. “Seperti namamu—Saka—yang berarti waktu. Cukup, kan?”


Saka berpura-pura kesal. “Itu bukan etimologi yang akurat.”


Mereka tertawa. Lalu diam, menikmati malam.


Di kejauhan, suara langkah. Pak Darsa muncul memanggul termos besar. “Nongkrong kok tanpa cumi?” serunya. “Kalian ini mau menyelamatkan kota atau lambung sendiri?”


Saka dan Kirana saling pandang. “Kota bisa menunggu lima menit,” kata Saka.


Mereka makan bersama. Cumi gosong sedikit, tetapi justru itulah wanginya. Darsa bercerita tentang cucunya yang kini ingin jadi “penjaga jam”. Dan Saka tahu, di jalur masa kini mana pun, cerita seperti ini keras kepala: ia akan meminta terus untuk terlahir.


Dua minggu kemudian, tanggul utama selesai diperbaiki sementara. Astraport mengadakan upacara dengan spanduk besar dan pidato panjang. Saka berdiri di belakang, menatap jalur masa kini di jam penaut: satu garis saja, mulus. Entah benar-benar mulus, atau hanya fatamorgana di mata lelahnya. Kirana menepuk bahunya.


“Besok kita pergi?” tanya Kirana. “Sungai Citarum memanggil untuk liputan lain.”


“Pergi,” jawab Saka. “Tapi sebelum itu…”


Ia menoleh pada jam penaut di tangannya. Ia menimbang, lalu memencet tombol kecil—bukan MERGE, hanya HOLD. Perangkat itu berhenti bernapas. Ia memasukannya ke dalam kotak kayu bersama buku catatan, tiket KRL lama, dan foto kampung dengan pelampung warna-warni. Ia menulis di tutup kotak: “Buka hanya ketika manusia lupa menari.”


Kirana menatapnya. “Aman?”


“Semua benda bahaya kalau dipegang terlalu lama,” kata Saka. “Termasuk penyesalan.”


Mereka berjalan melewati warga yang mengibarkan bendera kecil, lewat anak-anak yang menabuh kaleng. Pak Darsa melambaikan tangan, cumi di satu tangan, bendera di tangan lain. “Kapan kawin?” serunya, spontan seperti ombak.


Kirana tertawa, Saka pura-pura terbatuk. “Kalau kota sudah berhenti kebanjiran!” balasnya.


“Jangan menunggu kota,” sahut Darsa. “Kota itu selalu punya alasan untuk lama.”


Saka mengangguk, entah pada Darsa, entah pada dirinya. Ia menatap laut sekali lagi. Ia tahu di tempat lain—yang mungkin juga di sini—ada kebun kerang yang retak, ada orang yang kehilangan rumah. Ia tidak akan pernah mampu menimbang keselamatan dengan adil. Tapi ia bisa menimbang langkahnya: apakah memperluas jembatan seratus detik, atau memperbanyak orang yang mampu menyeberang tanpa jembatan.


“Kalau suatu hari kamu kangen bunyi mesin itu,” ujar Kirana, “aku juga.”


“Kalau suatu hari orang lupa cara menutup pintu dengan benar,” balas Saka, “kita buka kotak.”


Mereka berjalan menuju jalan raya. Matahari naik, memantulkan kilau di permukaan air yang kali ini jinak. Di langit, seekor camar menukik, menatap bayangan sendiri di air, lalu terbang lagi seperti huruf yang menghubungkan dua kalimat.


Di belakang mereka, kaleng-kaleng di gang bergetar pelan tertiup angin, seperti tepuk tangan yang tak ingin berhenti. Dunia, untuk sementara, tidak butuh jembatan ke masa lalu. Ia punya cukup keberanian untuk melangkah ke besok.


Dan Saka—yang namanya memang berarti waktu dalam cerita Kirana, meski tidak dalam etimologi manapun—belajar meletakkan jamnya di atas meja, menatap detik menetes tanpa rasa bersalah. Karena kadang, menyelamatkan satu dunia bukan soal mengakali waktu, melainkan mengajari banyak orang bergerak pada waktu yang sama.


Seratus detik ternyata panjang. Cukup panjang untuk sebuah kota mengeja ulang kata selamat. Cukup panjang untuk seorang manusia menutup pintu, mengangkat perahu, menatap orang yang ia sayangi, dan berkata: “Kali ini, kita lebih cepat dari air.”


Dan setelah semua itu, bila malam datang lagi dan suara kapal kembali seperti bintang yang jatuh, Saka tahu—dengan atau tanpa mesin—ia akan selalu punya sesuatu untuk dikirimkan ke masa lalu: keberanian.

Popular posts from this blog

Langit di Atas Kota Kertas

Kota ini tidak pernah benar-benar tidur. Lampu neon menggantikan bintang, dan suara mesin menggantikan desiran angin malam. Di balik gedung-gedung pencakar langit yang berdiri gagah, tersembunyi ribuan kisah yang tak pernah sempat dituliskan. Salah satunya adalah kisah tentang Raka, seorang ilustrator jalanan yang bercita-cita menjadi pelukis terkenal. Setiap pagi, Raka duduk di trotoar Jalan Melati, menggelar kanvas kecil dan menggambar wajah-wajah asing yang lewat. Tangannya cekatan, matanya tajam. Ia tak hanya menggambar wajah, tapi menangkap cerita. Seorang anak perempuan yang memeluk boneka lusuh, pria tua yang berjalan tertatih dengan koper plastik, atau pasangan muda yang tampak bahagia namun diam-diam saling menyimpan luka. "Kota ini seperti kertas," gumam Raka suatu sore pada seorang pengamen bernama Jalu. "Kita menuliskan mimpi di atasnya, tapi hujan bisa menghapus semuanya." Jalu terkekeh. "Atau malah jadi seni abstrak yang tak bisa dibaca siapa pun....

Cerpen ~ MERAH PUTIH ONE FOR ALL

Di sebuah desa yang tenang dan damai, semangat menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia begitu terasa. Setiap tahunnya, warga desa berkumpul untuk merayakan 17 Agustus dengan berbagai cara. Salah satu momen paling penting adalah saat pengibaran bendera pusaka, sebuah simbol kemerdekaan yang dijaga dengan penuh kehormatan. Bendera tersebut selalu dikibarkan dalam upacara resmi di desa setiap tahunnya. Untuk menjaga agar bendera ini tetap aman, seorang pemimpin desa memilih sekelompok anak terpilih untuk menjaga bendera tersebut.

Cerpen ~ PROTOKOL GARUDA: HUJAN TERAKHIR DI ATAS NUSANTARA

Angin dari arah Balikpapan terlempar masuk ke kota yang masih memulas diri dengan bau semen baru. Nusantara, ibu kota yang dipahat dari rimba dan rencana, berdiri dalam keremangan subuh seperti kapal raksasa yang baru ditarik ke dermaga. Di atasnya, langit bersih—terlalu bersih, menurut beberapa orang—karena enam satelit pengendali cuaca yang menari dalam orbit sinkron, dikenal sebagai Konstelasi Garuda. Orang-orang memuji keajaiban itu: banjir dapat dijinakkan, kemarau dapat diiris jadi tipis, badai dibelokkan seperti pesawat kertas.