Skip to main content

**Part 1 - Gaji Kecil, Hidup Mahal**

Jakarta, pukul 05.45 pagi.


Dimas bangun dengan suara dering alarm dari ponsel bututnya yang layar depannya sudah retak. Sinar matahari belum sempat menembus tirai jendela kos-kosan sempit berukuran 2x3 meter yang ia sewa seharga 800 ribu sebulan. Di luar, suara motor ojek online sudah ramai, menandai dimulainya pertempuran baru di hari itu.


Ia menatap langit-langit sebentar, lalu menghela napas panjang. “Ayo, hidup dimulai,” gumamnya, meskipun tubuhnya enggan untuk beranjak.


Dimas adalah anak rantau dari sebuah desa kecil di pinggiran Purwokerto. Setelah lulus kuliah dengan gelar sarjana komunikasi yang ia banggakan, ia pindah ke ibu kota dengan harapan bisa mendapatkan pekerjaan bergengsi. Namun kenyataannya jauh dari ekspektasi. Ia bekerja sebagai admin media sosial untuk sebuah perusahaan startup kecil, dengan gaji hanya 3,5 juta rupiah per bulan. Potong sewa kos, makan, transportasi, dan sedikit pulsa—habis. Tidak ada ruang untuk sakit, apalagi liburan.


Pagi itu, ia sarapan seadanya: nasi putih sisa semalam dan telur dadar yang sudah dingin. Ia menolak beli kopi sachet yang biasa ia minum karena harus berhemat. Ia tahu, sekalipun nilainya kecil, pengeluaran kecil yang berulang bisa membuat dompetnya berdarah. 


Di dalam TransJakarta menuju kantornya di bilangan Kuningan, Dimas berdiri, memegang erat pegangan besi karena tidak kebagian tempat duduk. Di sekelilingnya, orang-orang dengan wajah letih menatap kosong ke layar ponsel masing-masing. Ia teringat kembali percakapan dengan temannya kemarin malam, Reno, yang bekerja di kantor besar dengan gaji dua kali lipat dirinya.


“Lo tuh harus upgrade gaya hidup, Dim. Pake baju yang branded dikit kek. Biar diliat profesional.”


Dimas hanya tersenyum waktu itu. Tapi pagi ini, dengan napas sempit dan mata kantuk, ia merasa sedih. Bukan karena tidak punya baju mahal, tapi karena di dunia ini, terlalu banyak orang yang diukur dari apa yang mereka pakai, bukan dari apa yang mereka kerjakan.


Sesampainya di kantor, Dimas langsung disambut oleh wajah sinis atasannya. “Telat lima menit, Mas Dimas. Udah tiga kali minggu ini.”


Dimas hanya mengangguk dan minta maaf. Ia tahu, memperdebatkan lima menit tidak akan mengubah hidupnya. Namun, batinnya mulai merasa ada sesuatu yang salah dengan cara hidup yang ia jalani.


Setelah jam kantor selesai, Dimas duduk sendirian di taman kecil belakang kantor. Ia membuka catatan digital di ponselnya dan menulis: *“Tips bertahan hidup di kota besar: jangan beli produk bermerek, jangan beli di minimarket, dan jangan pernah berharap sistem akan berpihak padamu.”*


Saat itulah ia bertemu dengan Lina, seorang perempuan muda yang menjual keripik rumahan. Mereka bertukar senyum. Lina menawarkan keripik singkong original tanpa label, tanpa merek, tanpa iklan.


“Berapa, Mbak?”


“Lima ribu aja, Mas. Tanpa merek, tapi rasa rumah.”


Dimas tertawa kecil. “Itu tagline bagus, Mbak.”


“Yang penting kenyang,” jawab Lina.


Dan mungkin—itu benar. Yang penting kenyang.


Hari itu, Dimas pulang dengan secuil harapan. Mungkin ia belum sukses, belum punya rumah, belum punya tabungan. Tapi ia tahu, ada cara lain untuk bertahan. Dan itu semua akan ia mulai dari sejengkal langkah kecil.


---

-- Hidup Sejengkal --

*To be continued...*

Popular posts from this blog

Langit di Atas Kota Kertas

Kota ini tidak pernah benar-benar tidur. Lampu neon menggantikan bintang, dan suara mesin menggantikan desiran angin malam. Di balik gedung-gedung pencakar langit yang berdiri gagah, tersembunyi ribuan kisah yang tak pernah sempat dituliskan. Salah satunya adalah kisah tentang Raka, seorang ilustrator jalanan yang bercita-cita menjadi pelukis terkenal. Setiap pagi, Raka duduk di trotoar Jalan Melati, menggelar kanvas kecil dan menggambar wajah-wajah asing yang lewat. Tangannya cekatan, matanya tajam. Ia tak hanya menggambar wajah, tapi menangkap cerita. Seorang anak perempuan yang memeluk boneka lusuh, pria tua yang berjalan tertatih dengan koper plastik, atau pasangan muda yang tampak bahagia namun diam-diam saling menyimpan luka. "Kota ini seperti kertas," gumam Raka suatu sore pada seorang pengamen bernama Jalu. "Kita menuliskan mimpi di atasnya, tapi hujan bisa menghapus semuanya." Jalu terkekeh. "Atau malah jadi seni abstrak yang tak bisa dibaca siapa pun....

Cerpen ~ MERAH PUTIH ONE FOR ALL

Di sebuah desa yang tenang dan damai, semangat menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia begitu terasa. Setiap tahunnya, warga desa berkumpul untuk merayakan 17 Agustus dengan berbagai cara. Salah satu momen paling penting adalah saat pengibaran bendera pusaka, sebuah simbol kemerdekaan yang dijaga dengan penuh kehormatan. Bendera tersebut selalu dikibarkan dalam upacara resmi di desa setiap tahunnya. Untuk menjaga agar bendera ini tetap aman, seorang pemimpin desa memilih sekelompok anak terpilih untuk menjaga bendera tersebut.

Cerpen ~ PROTOKOL GARUDA: HUJAN TERAKHIR DI ATAS NUSANTARA

Angin dari arah Balikpapan terlempar masuk ke kota yang masih memulas diri dengan bau semen baru. Nusantara, ibu kota yang dipahat dari rimba dan rencana, berdiri dalam keremangan subuh seperti kapal raksasa yang baru ditarik ke dermaga. Di atasnya, langit bersih—terlalu bersih, menurut beberapa orang—karena enam satelit pengendali cuaca yang menari dalam orbit sinkron, dikenal sebagai Konstelasi Garuda. Orang-orang memuji keajaiban itu: banjir dapat dijinakkan, kemarau dapat diiris jadi tipis, badai dibelokkan seperti pesawat kertas.