Skip to main content

**Part 2 - Merek Tak Membuat Kenyang**

Dimas duduk di ujung tempat tidur sambil memandangi nota belanja bulanannya. Nominalnya tidak besar, tapi tetap saja terasa berat. Detergen, sabun, pasta gigi, kopi sachet, semuanya bermerek. Ia mulai menghitung ulang berapa banyak uang yang habis hanya karena sebuah nama pada kemasan.


Malam itu, ia memutuskan untuk mengubah cara hidupnya. Ia menulis ulang daftarnya, mengganti semua produk bermerek dengan alternatif generik. Ia mulai mencari warung terdekat, pasar tradisional, dan toko kelontong yang tidak menjual "brand".


Besoknya, sepulang kerja, Dimas menyusuri gang-gang kecil dekat kos-kosannya. Ia menemukan sebuah toko kecil yang nyaris tidak terlihat dari jalan raya. Di sanalah ia bertemu **Lina** lagi. Ternyata, selain berjualan keripik, Lina juga membantu orang tuanya mengelola toko kelontong itu.


“Mas Dimas, nyari apa?” tanya Lina dengan senyum ramah.


“Sabun cuci piring. Tapi... jangan yang bermerek.”


Lina tertawa kecil. “Tenang, di sini semua tanpa merek.”


Dimas membeli banyak hal malam itu. Sabun curah, minyak goreng dalam botol bekas air mineral, bahkan pasta gigi buatan lokal dengan nama asing yang belum pernah ia dengar. Total belanjanya hanya separuh dari biasanya.


Di perjalanan pulang, Dimas merasa puas. Ia merasa seperti menemukan celah kecil dalam sistem yang memaksa orang untuk membeli label, bukan kebutuhan.


***


Di kantor, perubahan kecil ini mulai terlihat. Dimas tidak lagi membawa kopi bermerek dalam termos, melainkan kopi bubuk yang ia racik sendiri. Temannya, **Bagas**, penasaran.


“Lo sekarang ngirit banget, Dim?”


“Bukan ngirit. Gue cuma capek dikendalikan iklan,” jawab Dimas sambil menyeruput kopinya.


Bagas mengangkat alis. “Tapi kan kualitas?”


“Kualitas gak selalu berarti merek. Lo cuma gak pernah nyoba yang lain.”


***


Sore hari, Dimas kembali ke toko Lina, kali ini hanya untuk membeli keripik. Mereka duduk di depan toko sambil ngobrol. Toko itu sederhana, tanpa pendingin, tanpa banner besar. Tapi pelanggan tetap datang karena harga murah dan suasana kekeluargaan.


“Lo gak pengen buka cabang gitu?” tanya Dimas.


“Nanti aja. Gue lebih suka begini dulu. Lambat asal selamat.”


Dimas mengangguk. Kalimat itu seperti menyentil isi kepalanya. Selama ini, semua orang mengejar yang besar, cepat, dan mewah. Tapi ia baru sadar, mungkin kebahagiaan justru hadir dari yang kecil, lambat, dan sederhana.


***


Di malam hari, ia kembali menulis di catatannya:


“Tips hari ini: Jangan biarkan merek mengatur isi kantongmu. Yang penting fungsi, bukan gengsi.”


Dan dengan itu, Dimas mulai merasa sedikit lebih merdeka.


---

-- Hidup Sejengkal --

*To be continued...*

Popular posts from this blog

Langit di Atas Kota Kertas

Kota ini tidak pernah benar-benar tidur. Lampu neon menggantikan bintang, dan suara mesin menggantikan desiran angin malam. Di balik gedung-gedung pencakar langit yang berdiri gagah, tersembunyi ribuan kisah yang tak pernah sempat dituliskan. Salah satunya adalah kisah tentang Raka, seorang ilustrator jalanan yang bercita-cita menjadi pelukis terkenal. Setiap pagi, Raka duduk di trotoar Jalan Melati, menggelar kanvas kecil dan menggambar wajah-wajah asing yang lewat. Tangannya cekatan, matanya tajam. Ia tak hanya menggambar wajah, tapi menangkap cerita. Seorang anak perempuan yang memeluk boneka lusuh, pria tua yang berjalan tertatih dengan koper plastik, atau pasangan muda yang tampak bahagia namun diam-diam saling menyimpan luka. "Kota ini seperti kertas," gumam Raka suatu sore pada seorang pengamen bernama Jalu. "Kita menuliskan mimpi di atasnya, tapi hujan bisa menghapus semuanya." Jalu terkekeh. "Atau malah jadi seni abstrak yang tak bisa dibaca siapa pun....

Cerpen ~ MERAH PUTIH ONE FOR ALL

Di sebuah desa yang tenang dan damai, semangat menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia begitu terasa. Setiap tahunnya, warga desa berkumpul untuk merayakan 17 Agustus dengan berbagai cara. Salah satu momen paling penting adalah saat pengibaran bendera pusaka, sebuah simbol kemerdekaan yang dijaga dengan penuh kehormatan. Bendera tersebut selalu dikibarkan dalam upacara resmi di desa setiap tahunnya. Untuk menjaga agar bendera ini tetap aman, seorang pemimpin desa memilih sekelompok anak terpilih untuk menjaga bendera tersebut.

Cerpen ~ PROTOKOL GARUDA: HUJAN TERAKHIR DI ATAS NUSANTARA

Angin dari arah Balikpapan terlempar masuk ke kota yang masih memulas diri dengan bau semen baru. Nusantara, ibu kota yang dipahat dari rimba dan rencana, berdiri dalam keremangan subuh seperti kapal raksasa yang baru ditarik ke dermaga. Di atasnya, langit bersih—terlalu bersih, menurut beberapa orang—karena enam satelit pengendali cuaca yang menari dalam orbit sinkron, dikenal sebagai Konstelasi Garuda. Orang-orang memuji keajaiban itu: banjir dapat dijinakkan, kemarau dapat diiris jadi tipis, badai dibelokkan seperti pesawat kertas.